Skip to main content

Laporan Pembahasan Ketimpangan Pendapatan di Kota Tasikmalaya Tahun 2017

Hai... berjumpa lagi,,,

Kali ini saya akan mencoba memberikan contoh laporan mengenai Pembahasan Ketimpangan Pendapatan di Kota Tasikmalaya Tahun 2017. 

Laporan ini merupakan salah satu laporan yang dibuat oleh temen-temen fungsional yang ada di Kantor kami, dan rekan kami yang membahas ini, namun saya berfikir bagaimana caranya agar pada saat pembahasan saya bisa dapat poin... oke kita langsung aja...




Penyajian Latar Belakang Masalah (0,1)
Perekonomian Kota Tasikmalaya menampilkan kemajuan yang cukup berarti. Sejak tahun 2010, ekonomi tumbuh terus, PDRB meningkat, hingga pada akhir tahun 2016, nilai PDRB mencapai 13.225 triliun rupiah. Penguatan ekonomi tampil dengan jelas. Namun, penguatan ekonomi Kota Tasikmalaya tersebut disertai dengan melambatnya beberapa komponen pengeluaran. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dari distribusi PDRB dimana distribusi pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga (RT), konsumsi LNPRT, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap Bruto (PMTB) dan perubahan inventori pada tahun 2016 melambat. Walaupun demikian, perubahan distribusi komponen pengeluaran tersebut masih tergolong stabil dimana distribusi pengeluaran konsumsi RT masih stabil dikisaran angka 74 persen, konsumsi LNPRT masih dikisaran angka 2 persen, konsumsi pemerintah dikisaran angka 9 persen dan pembentukan modal tetap Bruto (PMTB) dikisaran angka 29-30 persen dan perubahan inventori dikisaran angka 4-5 persen. Sementara itu, untuk komponen pengeluaran net ekspor Kota Tasikmalaya distribusinya menunjukkan defisit yang terus berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor Kota Tasikmalaya semakin meningkat.
Namun disisi lain tingkat perekonomian semakin membaik tidak diimbangi dengan turunnya angka kemiskinan dengan cepat. Data yang diperoleh dari BPS menunjukan bahwa sejak  tahun 2010 sampai dengan 2016 jumlah penduduk miskin di Kota Tasikmalaya terus menurun mulai 131.600 jiwa sampai dengan 102.790 jiwa.

Pembuatan Diagram dan Tabel (0,1)

Distribusi PDRB atas Harga Berlaku menurut Pengeluaran Kota Tasikmalaya, 2010 – 2016

Description: https://lh4.googleusercontent.com/rS--yGw7YtNPWLsTAVFcdwU6aF6Z1NgG-J1tJDfBFsAetAFPt1ytMnjeHT7bBaO2cRzTjeYL_wJb4an--wRV9D4_2AJf2qo0MfYbQN01B9yFOAuPc9rXysLFodhaZexUsoP5szU8DJWTWvMmmA
Sumber : BPS Kota Tasikmalaya (online)


Pembuatan Diagram dan Tabel (0,1)
Jumlah masyarakat miskin di Kota Tasikmalaya
Sumber : BPS Kota Tasikmalaya (online)

Description: https://lh5.googleusercontent.com/Cn0WioJEfZBBtcZthtyeOMsLlbDvPnIH8B5Ohr_5XA-E0TdlAM1anBqqosQxtlLwye_0JbHJi3Fku1DONBur3lob5WWPBNQIpRp1gycLtEKcia_-EfKdgcNfNqST38ZtkaCmihyAuHAq9XzG4Q





Menentukan Jenis Permasalahan (0,1)
Penurunan jumlah penduduk miskin tidak searah dengan meningkatnya pemerataaan pendapatan. Indikatornya adalah gini rasio (GR). GR Kota Tasikmalaya meski sempat mengalami penurunan tajam pada tahun 2014 (0.37), yang berarti ada peningkatan pemerataan pendapatan, namun setelah itu meningkat tajam hingga mencapai 0.49, dan pada tahun 2016 GRnya sebesar 0.42. Keadaanya mencolok ketika tahun 2015 dan 2016, GR Kota Tasikmalaya berada di atas GR Provinsi Jawa Barat.
Pemerataan pendapatan, secara konseptual, akan meningkat bila kelompok masyarakat berpendapatan rendah menurun. Kemampuan penduduk berpendapatan rendah untuk meningkatkan status pendapatan menjadi berpendapatan menengah, memerlukan upaya ekstra. Kesempatan mereka untuk meningkatkan pendapatan terbentuk oleh cara kerja sistem ekonomi Kota Tasikmalaya.

Menentukan Faktor-Faktor Penyebab Permasalahan (0,1)
Adapun penyebab dari permasalahan tersebut diantaranya :
1.      Ketimpangan peluang. Dengan kata lain bahwa peluang bekerja di Kota Tasikmalaya masih rendah sehingga kesempatan bekerja hanya berlaku pada segolongan saja.
2.      Ketimpangan pasar kerja. Pekerja dengan keterampilan (skill) tinggi menerima gaji yang lebih besar, dan tenaga kerja lainnya hampir tidak memiliki peluang untuk mengembangkan keterampilan mereka.  
3.      Konsentrasi kekayaan. Pemilik perusahaan yang notabene sebagai pengatur keuangan perusahaan akan dengan mudah untuk mengatur seberapa besar upah yang akan dibayarkan kepada para pekerjanya dan biasanya kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan harga bahan pokok.
4.      Kerentanan dalam menghadapi goncangan. Masyarakat miskin pada umumnya saat terjadi goncangan ekonomi akan lebih terkena dampak sehingga menurunkan kemampuan mereka untuk memperoleh pemasukan dan melakukan investasi kesehatan dan pendidikan.

Menulis saran mengenai Tindak Lanjut yang diperlukan dalam perencanaan sektor tunggal (0,1)
Melihat dari kecenderungan beberapa sumber permasalahan tersebut diatas, maka penulis menyarankan :
1.      Menentukan siapa saja yang berpartisipasi dan sektor-sektor yang diprioritaskan. Dalam tahap ini seyogianya dapat teridentifikasi unit-unit usaha yang terlibat dalam penciptaan nilai tambah di setiap lapangan usaha, baik jumlahnya maupun perkiraan besaran kontribusinya. Untuk mengakomodir partisipasi penduduk miskin, tampaknya sektor pertanian dan berbagai sektor informal yang harus menjadi perhatian.
2.      Pengaturan kelembagaan apa yang dirancang dan ditekankan. Dalam tahap ini, diharapkan Pemerintah daerah dapat menyiapkan kerangka regulasi khusus tentang pola pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Salah satu focus yang bisa digarap adalah optimalisasi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) supaya sustain menyalurkan pembiayaan dan mendorong perekonomian local.
3.      Menentukan metode pencapaian target perencanaan terkait bagaimana potensi yang ada dapat disinergikan. Salah satu peran yang penting berjalannya solusi ini salah satunya adalah peran kampus. Perguruan tinggi dapat menjadi mitra untuk mensukseskan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Melakukan Studi Pustaka yang Memperkuat Landasan/Kerangka Logis. (0,2)
Teori tentang Ketimpangan Pendapatan
Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights (Glaeser, 2006). Dari penjelasan diatas bahwa ketimpangan pendapatan dapat dilihat tidak hanya dari satu faktor saya, melainkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Alesina dan Rodrik (1994) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menghambat pertumbuhan. Hal ini karena ketimpangan menyebabkan kebijakan redistribusi pendapatan yang tentunya akan mahal.
Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan menyebabkan beberapa hal, antara lain:
1.      Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan menyebabkan inefisiensi ekonomi
2.      Ketimpangan pendapatan yang ekstrim akan melemahkan stabilitas sosal dan solidaritas
3.      Ketimpangan pendapatan yang ekstrim umumnya dianggap tidak adil.
Beberapa ukuran ketimpangan yang sering digunakan antara lain: Indeks Gini, Indeks Theil dan ukuran ketimpangan dari Bank Dunia. Dalam penelitian ini ukuran ketimpangan yang digunakan adalah Indeks Gini.

1. Koefisien Gini (Gini Ratio)
Koefisien Gini biasanya diperlihatkan oleh kurva yang disebut Kurva Lorenz, seperti yang diperlihatkan kurva di bawah ini. Dalam Kurva Lorenz, Garis Diagonal OE merupakan garis kemerataan sempurna karena setiap titik pada garis tersebut menunjukkan persentase penduduk yang sama dengan persentase penerimaan pendapatan.
Koefisien Gini adalah perbandingan antara luas bidang A dan ruas segitiga OPE. Semakin jauh jarak garis Kurva Lorenz dari garis kemerataan sempurna, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya, dan sebaliknya. Pada kasus ekstrim, jika pendapatan didistribusikan secara merata, semua titik akan terletak pada garis diagonal dan daerah A akan bernilai nol. Sebaliknya pada ekstrem lain, bila hanya satu pihak saja yang menerima seluruh pendapatan, luas A akan sama dengan luas segitiga sehingga angka koefisien Gininya adalah satu (1). Jadi suatu distribusipendapatan makin merata jika nilai koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya,
suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai koefisien Gininya mendekati satu. Tabel berikut ini memperlihatkan patokan yang mengatagorikan ketimpangan distribusi berdasarkan nilai koefisien Gini.
Nilai Koefisien Gini
Distribusi Pendapatan
.... < 0,4
Tingkat ketimpangan rendah
0,4 < 0,5
Tingkat ketimpangan sedang
.... > 0,5
Tingkat ketimpangan tinggi

Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut:

Keterangan :
G         =    Gini Ratio
Pi         =    Persentase rumah tangga pada kelas pendapatan ke-i
Qi         =    Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas-i
Qi-1      =    Persentase kumulatif pendapatan sampai dengan kelas ke-i
k          =    Banyaknya kelas pendapatan

2. Menurut Bank Dunia
Bank Dunia mengukur ketimpangan distribusi pendapatan suatu negara dengan melihat besarnya kontribusi 40% penduduk termiskin. Kriterianya dapat dilihat pada tabel berikut.
Distribusi Pendapatan
Tingkat Ketimpangan
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
< 12% dari keseluruhan
Tinggi
Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
12%–17% dari keseluruhan pengeluaran
Sedang

Kelompok 40% termiskin pengeluarannya
> 17% dari keseluruhan pengeluaran
Rendah

Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Oleh karena data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini didekati  dengan menggunakan data pengeluaran. Dalam hal ini, analisis distribusi pendapatan dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas. Dalam analisis, dapat menggunakan dua ukuran untuk merefleksikan ketimpangan pendapatan yaitu Koefisien Gini (Gini Ratio) dan Ukuran Bank Dunia.
Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif, yaitu:
a) Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income)
Distribusi pendapatan perorangan memberikan gambaran tentang distribusi pendapatan yang diterima oleh individu atau perorangan termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang tidak dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu atau rumah tangga yang mencari penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat dan sektor sumber pendapatanpun turut diabaikan.
b) Distribusi pendapatan fungsional
Distribusi pendapatan fungsional mencoba menerangkan bagian dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah atau sumberdaya alam, tenaga kerja, dan modal. Pendapatan didistribusikan sesuai dengan fungsinya seperti buruh menerima upah, pemilik tanah memerima sewa dan pemilik modal memerima bunga serta laba. Jadi setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan kontribusinya pada produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
Distribusi pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan, adapun pertumbuhan pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
1)      Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah atau gaji dan besarnya tergantung tingkat produktifitas.
2)      Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga, hadiah atau warisan.
Sayangnya relevansi teori fungsional tidak mempengaruhi pentingnya peranan dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar (faktor-faktor non-ekonomis) misalnya kekuatan dalam menentukan faktor-faktor harga (Todaro, 2003).


nah dari laporan ini, saya mencoba mengklaim dengan jumlah 0,72 dengan rincian sebagai  berikut :


No.
Unsur/Sub. Unsur
Butir Kegiatan
Pelaksana
Angka Kredit
Jumlah
Total
A
Perencanaan
Identifikasi Permasalahan
1
Pembuatan Diagram dan Tabel
II.A.10
Perencana Pertama
0,1
2
0,2
2
Penyajian Latar Belakang Masalah
II.A.11
Perencana Pertama
0,1
1
0,1
3
Menentukan Jenis Permasalahan
II.A.16
Perencana Pertama
0,1
1
0,1
4
Menentukan Faktor-Faktor Penyebab Permasalahan
II.A.18
Perencana Muda
0,1
1
0,08


Perumusan Alternatif Kebijakan
5
Melakukan Studi Pustaka yang Memperkuat Landasan/Kerangka Logis
II.B.2
Perencana Muda
0,2
1
0,16


Penilaian Hasil Pelaksanaan
6
Menulis Saran Mengenai Tindak Lanjut yang Diperlukan Dalam Perencanaan Proyek Sektor Tunggal
II.F.25
Perencana Muda
0,1
1
0,08
JUMLAH
0,72
 
nah silahkan saya tunggu masukan dan sarannya.. 


tunggu di postingan selanjutnya masih seputar laporan angka kredit

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Mengaji di LDII

Sebelumnya perkenalkan nama saya sandy perdana, anak-anak biasanya panggil saya sandy. Aku lahir kurang lebih 28 tahun yang lalu, tepatnya bulan oktober tahun 1980. Domisili aku pada saat itu di kota bandung di komplek margahayu raya, mungkin nama kompleks ini bagi orang bandung sudah tidak asing lagi karena terkenal kompleks yang dibangun awal tahun 1980an. Lingkungan aku bermain mulai aku kecil sampai menginjak smp sangat mendukung, dalam arti kebetulan penghuni di kompleks tersebut sepantaran dengan aku sehingga aku tidak menemui kendala dalam bermain. Seperti biasa kegiatan dari kecil sampai smp sering dilakukan bersama-sama, mulai sepulang sekolah,kita bermain dilapangan, kebetulan setiap rw punya lapangan masing-masing yang telah disediakan oleh pihak developer. Pada saat itu, hampir sebagai rutinitas kita bermain di sore hari, setelah itu orang tua kami selalu mewanti-wanti agar setelah bermain disore hari, segera mandi dan bersiap-siap untuk ke mesjid. Kebetulan mesjid di

SUCCESS STORY PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN (PPSP) KOTA TASIKMALAYA

LAPORAN KARYA TULIS SUCCESS STORY PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN (PPSP) KOTA TASIKMALAYA I. PENDAHULUAN Program Nasional Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) merupakan program yang diluncurkan pemerintah pusat melalui Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Nasional yang keanggotaannya meliputi 8 (delapan) Kementerian yaitu : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Keuangan. Program ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi sanitasi di Indonesia dengan mengarustamakan percepatan pembangunan sektor sanitasi, dalam rangka pencapaian target RPJMN 2010 – 2014 dan MDG’s 2015. II. SEJARAH PPSP DI KOTA TASIKMALAYA Keikutsertaan Kota Tasikmalaya dalam Program PPSP dimulai melalui pernyataan surat minat untuk mengikuti

Mau Jadi Fungsional Perencana??? Yakin... coba baca dulu ya...

Mau Jadi Fungsional Perencana??? Yakin... coba baca dulu ya... Hai.. selamat pagi... Oke, kali ini saya akan membahas tentang apa yang harus diketahui sebelum memilih untuk mengambil Jabatan Fungsional Perencana. Mungkin banyak disini teman-teman yang bertanya, kenapa sih ngambil fungsional perencana, koq ngga ke struktural/jabatan administrator, ih sayang loh,, kan punya potensi, emang gak bosen klo nanti ambil fungsional, nanti klo jadi fungsional ngga punya kebijakan loh atau yang lebih parah, fungsional merupakan orang-orang buangan... oke,, mungkin itu beberapa pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang nyangkut sama saya. Dari sekian pertanyaan tersebut diatas, saya sendiri ngga mau ambil pusing, yang jelas saya mencoba menyampaikan apa yang saya rasakan sendiri sebagai fungsional perencana. Oke kita mulai ya,, oiya,, persiapkan cemilannya, karena ini lumayan menguras pikiran anda...hehehe.. Berawal dari tahun 2011, ada informasi dari Pusbindiklatren Bappen